Maka itulah sebabnya diajarkan dalam perkuliahan Studi Islam, misal, metode integrasi-interkoneksi atau jaring laba-laba ala Prof. Amin Abdullah dalam maksud mendorong produksi-produksi makna atas doktrin Islam lahir dari pengkajian yang detail dan mendalam.
Bukan asal sekadar modal arti satu ayat lalu disunggi benar dan mutlak ke mana-mana, dikampanyekan sedemikian instan, sekdarnya, dan tendensiusnya. Dari model tafsir beginianlah lahir vonis penyesatan, penyalahan, dan takfir kepada orang lain. Misal, dengan sejjadar bermodal ayat "siapa yang tidak menegakkan hukum dengan hukum Allah, maka mereka tergolong kaum kafir".
Tiadanya pendekatan komprehensif pada ayat tersebut, misal melibatkan pendekatan sejarah, sosiologis, hingga psikososial dan bahkan simbolisme ataupun kritik bashasa alalangue dan parole atau penanda dan petanda umpama, menjadikan ayat tersebut berwajah hitam putih. Yang tidak hukum rajam, kafir. Yang tidak memotong tangan pencuri, kafir. Yang tidak bersikap dan bertindak keras kepada non muslim melanggar asyidda' 'alal kuffar, maka kafir.
Tradisi dan Hal-Hal Unik yang Muncul ketika Bulan Romadhon
Benarkah Islam Mengajarkan Kebencian dan Teror?
Teroris Tidak Beragama?
Dan banyak banget lagi bukti-bukti nyata di sekitar kita kini akan betapa vitalnya kebutuhan pengkajian komprehensif pada sumber-sumber utama hukum Islam, al-Qur'an dan sunnah, agar wajah Islam kita bisa bersahaja, dinamis sesuai tumbuh kembangnya realitas hidup umatnya sendiri, yang dengan postur demikianlah apa yang disebut Islam rahmatan lil 'alamin bisa sepenuhnya tegak.
www.dream.co.id
Sayangnya, karena ideal demikian masih terkalahkan oleh penguasa-penguasa panggung khutbah yang reaktif, instan, artifisial, dan tidak komprehensif berbasis kompetensi keilmuan yang ilmiah akademis, utamanya di medsos, jadilah wacana keislaman yang diserap khalayak umum dan awam Islam adalah apa-apa yang dinarasikan mereka. Orang-orang lalu tersugesti untuk waktu demi waktu menerima dan meyakini wacana stagnan, keras, kaku, dan intoleran itu sebagai wajah Islam yang benar yang sesuai al-Qur'an dan sunnah Rasul saw.
Hijrah, misal. Jelas dalam al-Qur'an ada ayat hijrah yang mendorong pada peningkatan kesalehan ubudiyah. Tapi, kesalehan sosial pun tak bisa dipisahkan.
Ekspresi hijrah di medsos kini rata-rata berkutat pada semata soal simbol-simbol lahiriah keimanan dan ketakwaan. Mulai dari jubah, jenggot, dahi menghitam, jilbab lebar, juga burqa dan niqab. Saya nyatakan agar tak salah maksud: semua simbol dan lebal lahiriah itu benar saja. Tak salah. Saya menerima dan menghormatinya. Fyi, saya pun punya cukup banyal jubah dan kerap mengenakannya.
Namun, keprihatinan dalam eksresi hijrah ialah cenderungnya sekadar berhenti pada label-label lahiriah demikian. Tidak beranjak ke jenjang rohani. Artinya, soal kostum sangatlah artifisial dan pilihan. Boleh diambil atau tidak, senyampang sudah etik dan menutup aurat sebagaimana diterakan dalam al-Qur'an. Adapun yanf jauh lebih fundamental ialah hikrah rohani, yakni (1) diri makin dekat dan dalam makna pada ibadah-ibadah spiritual, dan (2) ekspresi sosial makin baik kepada semua orang tanpa kecuali sebagai lelampah akhlakul karimah.
www.dubaitaly.com
Begitu. Mengapa sejumlah pelaku hijrah malah begitu sibuknya dengan perkara kostum sembari gemar sekali menghina orang lain yang tidak berkostum sepertinya? Bagaimana logisnya sikap-sikap nirakhlak demikian atawa asosial itu dijusfitikasi sebagai ekspresi dakwah amar makruf nahi munkar padahal prinsip ajaran dakwah dalam al-Qur'an adalah dengan cinta, nasihat yang baik, dan paling jauh adalah berargumentasi dengan argumen yang ahsan? Sama sekali tidak ada ajaran keras, kasar, menghina, menghujat, menyesatkan, apalagi mengkafirkan.
Ini problem wacana keislaman kita kini yang sangat nyata di sekitar kita, utamanya di sosmed, dan wacama itulah yang ditelan oleh sebagian besar saudara-saudara muslim kita sendiri, diyakininya sebagai kebenaran mutlak, karenanya tunggal, lalu sempurnalah ia jadi fanatikan dan kasaran. Tepat pada kondisi memprihatinkan beginilah, para akademisi, cendekiawan, dan pemuka Islam yang mumpuni haruslah mengambil peran intensif untuk menenarkan wajah Islam yang lebih sejuk.
Hanya memang ada pr besar di internal muslim pintar dan muda itu pada umumnya, yakni cenderung kendurnya kepatuhan syariat dan ritualnya, sehingga di mata awam ungkapan-ungkapannya tidaklah memukau untuk didengarkan, apalagi diikuti.
Maka saat Ramadhan begini berpuasalah, tarawihlah, iktikaflah. Ndak usah diteoriin lagi. :)
Edi Mulyono, penulis adalah CEO dari Diva Press, kafe Basa-Basi, Basa-Basi.co dan Nyontong.com
Sumber gambar sampul: www.vidio.com